- Back to Home »
- kebudayaan maluku
Posted by : Rifda.pawae
Selasa, 21 Oktober 2014
KEBUDAYAAN MALUKU
Seni
Kebudayaan Daerah Maluku
Dalam dunia internasional
provinsi Maluku lebih di kenal sebagai Moluccas. Ibukota Maluku adalah Ambon.
Padatahun 1999 provinsi Maluku di mekarkan menjadi 2 provinsi menjadi Maluku
dan Maluku utara yang beribukota di sofifi. Suku Maluku didominasi oleh ras suku bangsa Melanesia Pasifik
yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga dan beberapa bangsa kepulauan yang
tersebar di kepulauan Samudra Pasifik. Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa
Maluku memiliki ikatan tradisi dengan bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti
bahasa, lagu-lagu daerah, makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga dan
alat musik khas, contoh: Ukulele (yang terdapat pula dalam tradisi budaya
Hawaii).
Mereka umumnya memiliki kulit gelap, rambut
ikal, kerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletis
dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia, dikarenakan mereka adalah suku
kepulauan yang mana aktivitas laut seperti berlayar dan berenang merupakan
kegiatan utama bagi kaum pria.
Sejak zaman dahulu, banyak di antara mereka
yang sudah memiliki darah campuran dengan suku lain, perkawinan dengan suku
Minahasa, Sumatra, Jawa, Madura, bahkan kebanyakan dengan bangsa Eropa (umumnya
Belanda dan Portugal) kemudian bangsa Arab, India sudah sangat lazim mengingat
daerah ini telah dikuasai bangsa asing selama 2300 tahun dan melahirkan
keturunan keturunan baru, yang mana sudah bukan ras Melanesia murni lagi.
Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras
dengan orang Eropa inilah maka Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia
yang digolongkan sebagai daerah Mestizo. Bahkan hingga sekarang banyak marga di
Maluku yang berasal bangsa asing seperti Belanda (Van Afflen, Van Room, De
Wanna, De Kock, Kniesmeijer, Gaspersz, Ramschie, Payer, Ziljstra, Van der Weden
dan lain-lain) serta Portugal (Da Costa, De Fretes, Que, Carliano, De Souza, De
Carvalho, Pareira, Courbois, Frandescolli dan lain-lain). Ditemukan pula marga
bangsa Spanyol (Oliviera, Diaz, De Jesus, Silvera, Rodriguez, Montefalcon,
Mendoza, De Lopez dan lain-lain) serta Arab (Al-Kaff, Al Chatib, Bachmid,
Bakhwereez, Bahasoan, Al-Qadri, Alaydrus, Assegaff dan lain-lain). Cara
penulisan marga asli Maluku pun masih mengikuti ejaan asing seperti Rieuwpassa
(baca: Riupasa), Nikijuluw (baca: Nikiyulu), Louhenapessy (baca: Louhenapesi),
Kallaij (baca: Kalai) dan Akyuwen (baca: Akiwen).
Dewasa
ini, masyarakat Maluku tidak hanya terdapat di Indonesia saja melainkan
tersebar di berbagai negara di dunia. Kebanyakan dari mereka yang hijrah keluar
negeri disebabkan olah berbagai alasan. Salah satu sebab yang paling klasik
adalah perpindahan besar-besaran masyarakat Maluku ke Eropa pada tahun 1950-an
dan menetap disana hingga sekarang. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan
kehidupan yang labih baik, menuntut ilmu, kawin-mengawin dengan bangsa lain,
yang dikemudian hari menetap lalu memiliki generasi-generasi Maluku baru di
belahan bumi lain. Para ekspatriat Maluku ini dapat ditemukan dalam komunitas
yang cukup besar serta terkonsentrasi di beberapa negara seperti Belanda,
Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Belgia, Jerman dan berbagai benua
lainnya.
Bahasa yang digunakan di provinsi Maluku
adalah Bahasa Melayu Ambon, yang merupakan salah satu dialek bahasa Melayu.
Sebelum bangsa Portugis menginjakan kakinya di Ternate (1512), bahasa Melayu
telah ada di Maluku dan dipergunakan sebagai bahasa perdagangan. Bahasa
Indonesia, seperti di wilayah Republik Indonesia lainnya, digunakan dalam
kegiatan-kegiatan publik yang resmi seperti di sekolah-sekolah dan di
kantor-kantor pemerintah.
Maluku
merupakan wilayah kepulauan terbesar di seluruh Indonesia. Banyaknya pulau yang
saling terpisah satu dengan yang lainnya, juga mengakibatkan semakin beragamnya
bahasa yang dipergunakan di provinsi ini. Jika diakumulasikan, secara
keseluruhan, terdapat setidaknya 132 bahasa di kepulauan Maluku. Dua bahasa
yang telah punah adalah Palamata dan Moksela.
Sebelum bangsa-bangsa asing (Arab, Cina,
Portugis, Belanda dan Inggris) menginjakan kakinya di Maluku (termasuk Maluku
Utara), bahasa-bahasa tersebut sudah hidup setidaknya ribuan tahun.
Bahasa Indonesia, seperti di wilayah Republik
Indonesia lainnya, digunakan dalam kegiatan-kegiatan publik yang resmi seperti
di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor pemerintah, mengingat sejak 1980-an
berdatangan 5000 KK (lebih) transmigran dari Pulau Jawa. Dengan banyaknya
penduduk dari pulau lain tersebut, maka khazanah bahasa di Pulau Seram (dan
Maluku) juga bertambah, yaitu kini ada banyak pemakai bahasa-bahasa Jawa, Bali
dan sebagainya.
Macam-Macam Kebudayaan di Daerah Maluku
-
Budaya Kalwedo
Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo. Kalwedo adalah bukti yang sah atas kepemilikan masyarakat
adat di Maluku Barat Daya (MBD). Kepemilikan ini
merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang
bersaudara. Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya
maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan Babar dan
MBD Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon
sehari-hari, adat istiadat, dan pewacanaan.
·
Nilai Adat Kalwedo
Kalwedo merupakan budaya yang memiliki
nilai-nilai sosial keseharian,
dan juga nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi,
kedamaian, dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara. Budaya
Kalwedo mempersatukan masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya
dalam sebuah kekerabatan adat, dimana mempersatukan masyarakat menjadi rumah
doa dan istana adat milik bersama Nilai Kalwedo
diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri, yaitu: inanara
ama yali (saudara perempuan dan laki-laki Inanara ama yali menggambarkan
keutamaan hidup dan pusaka kemanusiaan
hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas hati, jiwa, pikiran dan perilaku.
Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali
persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup
berdampingan dengan baik).Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk saling berbagi
dan saling membantu dalam hal potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang diwariskan
oleh alam kepulauan MBD.
-
Budaya Hawear
Hawear (Sasi) adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam
kehidupan masyarakat Kepulauan
Kei secara turun
menurun. Cerita
rakyat, lagu rakyat, dan berbagai dokumen tertulis merupakan prasarana untuk
melestarikan kekayaan budaya termasuk Hawear. Sejarah Hawear bermula dari
seorang gadis yang diberikan daun kelapa kuning (janur kuning) oleh
ayahnya. Kemudian janur kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi
yang dipakainya. Gadis tersebut melakukan perjalanan panjang untuk
menemui seorang raja (Raja Ahar Danar). Maksud dari janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa
ia telah dimiliki oleh seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh
siapapun selama perjalanan. Janur kuning tersebut diberikan oleh sang
ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang tak dikenal dalam
perjalanannya Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan sesuai
dengan maknanya hingga saat ini.
Sasi (Hawear) di Kepulauan Kei
-
Batu Pamali
Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku. Selain Baileo, rumah tua, dan teung soa,
batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati
masyarakat adat Maluku. Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar
berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo,
sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam
kehidupan masyarakat. Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri
adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa. Di beberapa negeri adat
Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang
masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. Seiring dengan perkembangan agama di
masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali. Dengan
adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti
dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa.
Contoh: Batu Pamali Negeri Saparua
-
Upacara Fangnea Kidabela
Kepulauan Tanimbar yang sekarang menjadi
Kabupaten Maluku Tenggara Barat, memiliki kebudayaan yang mengatur
persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan
Kidabela. Duan Lolat mengatur tentang
hubungan sosial masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa
atau lebih, dan hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela. Upacara
Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah
persaudaraan dan persekutuan agar tidak mudah pecah atau retak.
-
Makna Upacara Fangnea Kidabela
Upacara
Fangnea Kidabela mengandung
makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat Tanimbar baik internal maupun
eksternal dalam setiap situasi. Upacara Fangnea Kidabela juga mengandung makna
sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan (fangnea) terhadap persahabatan,
persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela) di antara sesama sebagai suatu
persekutuan wilayah teritorial Kampung Sulung di pulau Enus yang terletak di Selaru bagian selatan pulau
Yamdena. Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara Panas
Pela di Ambon, Lease, dan Maluku
Tengah. Upacara
ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang kokoh dan kuat untuk mencegah
fenomena konflik dan perpecahan terhadap hubungan masyarakat.
-
Hibua Lamo
Hibua Lamo adalah rumah besar yang dijadikan simbol masyarakat
adat di Halmahera
Utara,
sekaligus simbol Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara. Di Halmahera Utara terdapat tiga etnis masyarakat
yang memiliki rumah adat masing-masing, misalnya rumah adat etnis Tobelo disebut Halu.
Namun Hibua Lamo yang menjadi pemersatu semua etnis. Hibua Lamo adalah konstruksi
dari nilai-nilai hidup dalam masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai
komunitas Hibua Lamo. Hibua Lamo merupakan konsep bersama yang disebutNanga Tau Mahirete (rumah
kita bersama). [9] Orang Tobelo, Galela dan Loloda tersegregasi secara geografis,
dan terbelenggu dalam tradisi, agama dan kepercayaan yang berbeda. Perbedaan
tersebut dipahami dan dihayati dengan kesucian hati dan kemurnian pikiran,
kemudian diterapkan dalam sebuah ungkapan filosofis Ngone O'Ria Dodoto yang
bermakna satu ibu satu kandung. [8] Konsekuensi dari
falsafah Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria Dodoto adalah
lahirnya sebuah komunitas asli Halmahera Utara daratan maupun kepulauan dalam
satu kesatuan yang teridentifikasi sebagai komunitas Hibua Lamo dan kemudian
disimbolkan dalam rumah adat Himua Lamo.
Dalam konteks ini komunitas Tobelo, Galela,
dan Loloda mengalami proses penyatuan dalam satu sosiokultural baru yang
dinamis. Sosiokultural ini berlandaskan pada nilai-nilai O'dora(saling
kasih), O'hanyangi (saling sayang), O'baliara (saling
peduli), O'adili (perikeadilan) dan O'diai (kebenaran)
dalam bingkai Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria
Dodoto.
-
Budaya Arumbae
Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat
Maluku, baik yang tinggal di pesisir maupun di pegunungan. Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam
masyarakat Maluku. Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari
terbentuknya suatu masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar - dalam
mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau
Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di lautan. Perjuangan
melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran. Kedatangan para leluhur
dari pulauSeram, pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari cerita
keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru,Ambon, Lease, dan Maluku Tenggara. Ragam
cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan Pela Gandong antar negeri. Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi
simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi
tantangan lautan. Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku
adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan
untuk menyongsong masa depan yang gemilang.
Laut adalah medan penuh bahaya dan
Arumbae menstrukturkan cara pandang bahwa laut adalah medan kehidupan yang
harus dihadapi. Itulah sebabnya, masyarakat Maluku melihat laut
sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau
dengan pulau lainnya. Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong
bertujuan untuk mengeratkan jalinan hidup orang bersaudara sebagai
pandangan dunia orang Maluku. Kebiasaanpapalele, babalu, maano,
dan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat laut dan arumbae sebagai simbol
perjuangan ekonomi.
Arumabe
tampak dalam beragam karya seni. Misalnya dalam syair kata tujuh
ya nona, ditambah tujuh, sapuluh ampa ya nona dalang parao [1] Banyak gapura negeri adat Maluku berbentuk Arumbae. Lagu
daerah banyak mengumpamakan keharmonisan dengan simbol perahu atau Arumbae. Di bidang
olahraga, Arumbae Manggurebe menjadi programpariwisata dan olah raga tahunan yang diselenggarakan
di Teluk
Ambon.
Lomba Arumbae Manggurebe
-
Sasahil dan Nekora
Sasahil dan Nekora merupakan tradisi masyarakat
adat di Negeri Siri Sori Islam dan Negeri Siri Sori Kristen di pulau Saparua. Bagi masyarakat desa Telalora, Nekora memiliki basis nilai
tolong-menolong antarwarga. Nilai tradisi Sasahil dan Nekora terletak
pada cara dan proses pelaksanaan. Nilai tolong-menolong yang terdapat
dalam tradisi Sasahil maupun Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan
menciptakan relasi saling memberi dan menerima antarwarga agar suatu pekerjaan
berat untuk mendirikan rumah bisa lebih ringan. Dalam menghadapi dinamika
kehidupan yang terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora selalu dipertahankan
dan dipelihara dengan baik. Hal ini dimaksudkan sebagai modal sosial
kelangsungan hidup bermasyarakat di masa mendatang.
v Rumah Adat Maluku
Rumah adat Maluku dinamakan Baileo. Baileo
dipakai untuk tempat pertemuan, musyawarah dan upacara adat yang disebut Saniri
Negeri. Rumah tersebut merupakan panggung dan dikelilingi oleh serambi. Atapnya
besar dan tinggi terbuat dari daun rumbia, sedangkan dindingnya dari tangkai
rumbai yang disebut.
dengan
bentuk bangunan yang besar, material bangunan sebagian besar berbahan dasar
kayu, kokoh dengan cukup banyak ornamen, ukiran yang menghiasi seluruh bagian
dari rumah tersebut. Baileo merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat
pertemuan warga (balai bersama), selain sebagai tempat pertemuan / kegiatan Baileo
juga berfungsi untuk menyimpan benda-benda suci, senjata atau pusaka
peninggalan dari nenek moyang warga kampung tersebut.
v
Pakaian Adat
Prianya memakai pakaian adat berupa setelann jas berwarna merah dan hitam, baju dalam yang berenda dan ikat pinggang. Sedangkan wanitanya memakai baju Cele, semacam kebaya pendek, dan berkain yang disuji. Perhiasannya berupa anting anting, kalung dan cincin. Pakaian ini berdasarkan adat Ambon.
Prianya memakai pakaian adat berupa setelann jas berwarna merah dan hitam, baju dalam yang berenda dan ikat pinggang. Sedangkan wanitanya memakai baju Cele, semacam kebaya pendek, dan berkain yang disuji. Perhiasannya berupa anting anting, kalung dan cincin. Pakaian ini berdasarkan adat Ambon.
Baju Cele bermotif garis-garis
geometris atau berkotak-kotak kecil. Biasanya, baju Cele dikombinasikan dengan
kain sarung yang warnanya tidak terlalu jauh berbeda, yang penting harus
seimbang dan serasi.
Kapan masyarakat Ambon
menggunakan baju adat itu? Baju cele dipakai dalam upacara-upacara adat (acara
pelantikan raja, acara cuci negeri, acara pesta negeri, acara panas pela, dan
lain-lain.).
Supaya lebih terlihat serasi,
baju Cele pun dikombinasi dengan kain pelekat yang dinamakan disalele.
Pemakaian sarung ini ada di luar dan melapisi baju yang ada di dalamnya.
Sarung dipakai sampai batas
lutut dan menggunakan lenso, yaitu sapu tangan yang diletakan di pundak.
Biasanya pakaian ini digunakan tanpa alas kaki tapi ada juga masyarakat yang
menggunakan selop sebagai gantinya.
v Tarian Daerah
Maluku
Macam macam tarian yag terdapat di
daerah Maluku:
a.
Tari Lenso, merupakan tari pergaulan bagi
segenap lapisan masyarakat Maluku.
b.
Tari Cakalele, adalah tari perang yang
melukiskan jiwa kepahlawanan yang gagah perkasa.
c.
Tari Cakaola, merupakan jenis tari pergaulan yang digarap berdasarkan
unsur unsur gerak
tari tradisional Orlapei dan
Saureka reka. Tari ini biasannya ditarikan untuk memeriahkan pesta pesta atau
dipertunjukkan dalam rangka manjamu tamu tamu terhormat.
Cakalele merupakan tarian tradisional Maluku yang
dimainkan oleh sekitar 30 laki-laki dan perempuan. Para penari cakalele pria
biasanya menggunakan parang dan salawaku sedangkan penari wanita menggunakan
lenso (sapu tangan). Cakelele merupakan tarian tradisional khas Maluku.
Para penari laki-laki
mengenakan pakaian perang yang didominasi oleh warna merah dan kuning tua. Di
kedua tangan penari menggenggam senjata pedang (parang) di sisi kanan dan
tameng (salawaku) di sisi kiri, mengenakan topi terbuat dari alumunium yang
diselipkan bulu ayam berwarna putih. Sementara, penari perempuan mengenakan
pakaian warna putih sembari menggenggam sapu tangan (lenso) di kedua tangannya.
Para penari Cakalele yang berpasangan ini, menari dengan diiringi musik beduk
(tifa), suling, dan kerang besar (bia) yang ditiup.
v Senjata Tradisional Maluku
Parang dan salawaku merupakan senjata tradisional khas daerah Maluku. Kedua senjata ini biasanya dipakai oleh para penari pria saat mempertunjukkan tarian Cakalele. Parangberarti pisau besar, biasanya memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari pisau, namun lebih pendek jika dibandingkan dengan pedang. Panjang parang 90-100cm, sedangkan Salawaku (perisainya) dihiasi dengan motif motif yang melambangkan keberanian.
Parang tersebut terbuat dari bahan besi yang keras dan ditempa oleh seorang pandai besi khusus. Tangkai parang terbuat dari kayu keras, seperti kayu besi atau kayu gupasa. Sawalaku sendiri memiliki arti perisai. Perisai adalah alat yang dipergunakan untuk melindungi diri dan untuk menangkis serangan senjata lawan. Pada salawaku terdapat ukiran-ukiran bermakna khusus yang terbuat dari kulit kerang laut. Sedangkan Salawaku (perisainya) terbuat dari kayu yang keras pula. Selain untuk keperluan perang, parang salawaku dipakai pula dalam menari tari Cakalele.
Parang dan salawaku merupakan senjata tradisional khas daerah Maluku. Kedua senjata ini biasanya dipakai oleh para penari pria saat mempertunjukkan tarian Cakalele. Parangberarti pisau besar, biasanya memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari pisau, namun lebih pendek jika dibandingkan dengan pedang. Panjang parang 90-100cm, sedangkan Salawaku (perisainya) dihiasi dengan motif motif yang melambangkan keberanian.
Parang tersebut terbuat dari bahan besi yang keras dan ditempa oleh seorang pandai besi khusus. Tangkai parang terbuat dari kayu keras, seperti kayu besi atau kayu gupasa. Sawalaku sendiri memiliki arti perisai. Perisai adalah alat yang dipergunakan untuk melindungi diri dan untuk menangkis serangan senjata lawan. Pada salawaku terdapat ukiran-ukiran bermakna khusus yang terbuat dari kulit kerang laut. Sedangkan Salawaku (perisainya) terbuat dari kayu yang keras pula. Selain untuk keperluan perang, parang salawaku dipakai pula dalam menari tari Cakalele.
Parang Salawaku
v Alat music
Alat Musik Daerah Maluku
adalah Tifa. Tifa merupakan alat music yang paling terkenal dari Maluku. Alat
music ini bentuknya menyerupai kendang dan terbuat dari kayu yang di lubangi
tengahnya. Ada beberapa macam jenis alat musik Tifa seperti Tifa Jekir, Tifa
dasar, Tifak Potong, Tifa Jekir potong, dan tifa Bas. Alat music lainnya yang
berasal dari Maluku adalah cc. Alat musik ini merupakan serangkaian gong-gong
yang kecil bentuknya dan biasanya di taruh pada sebuah meja dengan beberapa
lubang sebagai penyanggah. Sedangkan alat music kulit bia merupakan alat
music tiup yang terbuat dari kulit kerang.
TIFA
Kulit bia
v Bahasa Maluku
Karena provinsi Maluku
memiliki banyak sekali pulau, disini juga terdapat berbagai macam bahasa.
Tapi biasanya di pakai di Maluku adalah jenis bahasa melayu Ambon, yang masih
satu dialek bahasa melayu. Berikut nama-nama bahasa yang berasal dari Maluku:
-
bahasa
Wamale (di Seram Barat)
-
bahasa
Alune (di Seram Barat)
-
bahasa
Nuaulu (dipergunakan oleh suku Nuaulu di Seram selatan; antara teluk
El-Paputih dan teluk Telutih)
-
bahasa
Koa (di pegunungan Manusela dan Kabauhari)
-
bahasa
Seti (di pergunakan oleh suku Seti, di Seram Utara dan Telutih Timur)
-
bahasa
Gorom (bangsa yang turun dari Seti dan berdiam di Seram Timur)
|
v Suku di Daerah Maluku
Suku
dan marga yang terdapat didaerah Maluku adalah :
-
Ranas
-
Alifuru
-
Togitil
-
Furu Aru, dan lain lain
v Lagu Daerah
Lagu daerah yang
terdapat pada Maluku ialah :
-
Kole kole
-
Mande mande
-
Rasa Sayang Sayange.ss